Iklan

Iklan

,

Mengubah Stigma Guru, Anak-Anak Cerdas Dengan Caranya

Tim Redaksi
1 Jun 2022, 6/01/2022 04:49:00 AM WIB Last Updated 2022-06-01T11:49:54Z

 Oleh: Dhea Nabila

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Negeri Makassar



Tentu kita mengharapkan bahwa sumber daya manusia negeri kita terus berkembang dan mengalami kemajuan. Mengingat dunia yang semakin banyak berkembang dan maju dalam berbagai aspek, sumber daya manusia pun harus terus bisa melakukan upgrade untuk mengimbangi kemajuan-kemajuan yang telah terjadi. Banyak harapan yang digantungkan pada generasi kita untuk masa depan pendidikan yang lebih baik.

Seiring dengan harapan yang digantungkan pada generasi muda, tidak bisa dipungkiri bahwa akan selalu ada masalah yang harus dihadapi sebagai babak awal untuk proses pembangunan pendidikan yang lebih baik. Salah satu masalah yang sering kali hadir dalam potret pendidikan negara kita adalah stigma yang dibentuk guru. Stigma yang dimaksud di sini adalah pola pikir guru yang menganggap jika kecerdasan tertinggi yang patut diapresiasi dari seorang anak adalah kecerdasan akademik. Sementara kecerdasan non akademik adalah suatu yang kerap kali dikesampingkan oleh guru.

Kecerdasan yang anak miliki tidak hanya berada di bidang akademik. Banyak bentuk kecerdasan lain dari seorang anak yang bisa dieksplor guru jika guru memiliki kesadaran untuk menggali itu. Kecerdasan anak itu dapat digolongkan menjadi beberapa kecerdasan didasarkan pada teori yang popular, diantaranya kecerdasan intelektual, kecerdasan umum, kecerdasan cair dan Kristal, kecerdasan yang perlu dimodifikasi, kecerdasan proksimal, kecerdasan yang dapat dipelajari, kecerdasan perilaku, kecerdasan tri tunggal, lecerdasan moral, emosional, pemecahan masalah, dan kecerdasan majemuk.

Kecerdasan majemuk sendiri terbagi lagi dalam beberapa bentuk didasarkan pada teori Howard Gardner, diantaranya kecerdasan linguistik, logika matematika, konestetik, visual spasial, intrapersonal, interpersonal, music, dan naturalis. Lantas, dengan hadirnya teori dari beberapa ahli ini yang menjadi bukti jika kecerdasan yang anak miliki tidak hanya satu dan juga beragam, mengapa guru sering lupa atau justru abai dengan masalah ini?

Masalah tersebut hadir tentu ada sebabnya. Masalah stigma guru yang keliru ini kadang kala timbul sebab guru tidak begitu bisa menempatkan diri sebagai seorang figur yang bisa mengayomi siswa yang ia ajar. Guru kadang lupa jika kehadirannya ditengah siswa bukan serta merta hanya untuk memberi pengajaran, teori tentang suatu mata pelajaran, berujung pada sesi penilaian dan menuliskan angka-angka itu di dalam buku laporan pembelajaran siswa dalam satu semester. Stigma keliru ini juga dipicu karena guru tidak mengenal ‘siapa’ siswanya lebih jauh. Guru tidak melihat sosok lain siswa yang ia ajar di luar kelas, karena pemikirannya terkungkung jika siswa di dalam kelas adalah tanggung jawabnya sebagai manusia yang ia beri pembelajaran, setelah di luar kelas siswa itu bukan lagi tanggung jawabnya. Bukan lagi ranah seorang guru untuk memberinya pembelajaran. Belum lagi beberapa guru yang tidak sadar dengan sikap apatis yang mereka tunjukkan pada siswa mereka. Mereka kurang mengeksplor bakat terpendam yang siswa mereka miliki dan bagaimana cara mengembangkannya. Bentuk masalah lain yang lahir akibat stigma ini adalah pemberian hukuman yang kadang kala tidak perlu diberikan guru pada siswa yang ia ajar.

Entah ketika siswa tidak mudah menghapal pelajaran, tidak mampu mengerjakan semua soal pelajaran yang sulit, dan bahkan sikap guru yang tanpa sadar meremehkan kemampuan siswa di kelas bisa menjadi bumerang bagi siswa di masa depan jika tidak segera ditanggulangi. Contoh ketika seorang siswa tidak begitu menguasai pembelajaran matematika. Matematika begitu sulit dipahaminya, sementara ia punya bakat dalam bidang seni terkhususnya menggambar, atau mendulang banyak juara di bidang olahraga. Ketika seorang guru harus bisa mengapresiasi dan mendukung siswa, karena stigma yang mengungkungnya itu yang menjadikan kecerdasan akademik dan aktif di kelas sebagai bentuk kecerdasan tertinggi, maka kecerdasan siswa dalam bidang seni ataupun olahraga menjadi hal yang dipandang sepele. Ditambah lagi ketika guru itu tidak menyaksikan ketika siswa itu terlihat bersinar dan luar biasa dengan bakatnya.

Stigma seperti ini bukan hanya dialami satu dua orang guru saja, melainkan banyak sosok guru lain yang mengalami hal serupa. Masalah ini tidak dapat dipandang enteng atau sepele. Stigma yang keliru ini bisa merusak banyak generasi jika tidak segera di atasi dengan cara yang tepat. Sangat perlu ditanamkan dalam diri seorang guru jika sosoknya bukan hanya sebatas mengajar, memberi nilai, dan mencantumkan peringkat dalam buku penilaian siswa-siswanya.

Solusi dan kunci dari upaya pencegahan masalah ini terletak pada figur seorang guru. Guru harus tahu bentuk kecerdasan atau bakat yang dimiliki siswanya. Seorang guru harus bisa menempatkan diri entah menjadi sosok orang tua, teman, atau sosok yang bisa menjadi tempat bagi siswa untuk menyuarakan isi pikiran mereka tanpa ragu ketika mereka sedang ada masalah. Seorang guru tidak boleh memperlihatkan sikap intimidasi pada siswa, mereka harus memberi sikap terbuka pada siswa yang mereka ajar. 

Tak hanya itu, guru sebisa mungkin memberi bentuk apresiasi sekecil apapun itu, dan jika harus diberi hukuman, bentuk hukumannya bukan dengan kata caci maki ataupun main fisik, beri hukuman yang bisa membawa siswa ke ranah yang lebih baik. Guru harus bisa menyadari jika siswa bukan jadi objek mereka meletakkan ekspetasi yang terlampau tinggi, ekspetasi yang membuat guru memandang siswa harus bisa menguasai segala bidang terlebih bidang akademik. Guru harus jadi sosok pemberi motivasi dan mendorong siswa untuk mengenal dunia di mana kecerdasan mereka benar-benar berkembang.






Iklan