UJUNGPENAMEDIA.COM--Kejadiannya ini terjadi di Pekalongan, Jawa Tengah sekira tahun 1959 jam 05.30 pagi.
Saat itu Sri Sultan sedang mengendarai mobilnya sendirian dalam perjalanan menuju Tegal. Saat melintas di perempatan Soko, rupanya tanpa sadar Sri Sultan melanggar peraturan lalu lintas.
Melihat hal itu seorang Polantas bernama Brigadir Polisi Royadin segera memberhentikan mobil yang dikendarai Sri Sultan. Begitu mobil berhenti Brigadir Royadin berkata kepada si pengemudi “Selamat pagi pak, Bisa lihat rebuweesnya?"
Rebuwees adalah sebutan SIM jaman dahulu. Begitu si pengemudi membuka jendela, betapa terkejutnya Brigadir Royadin, ternyata yang dia hadapi saat itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX, seorang raja dan juga seorang petinggi TNI
"Ada apa pak Polisi?" Tanya Sultan.
"Mohon maaf Sinuwun sudah melanggar verboden." Jawab Brigadir Royadin Royadin pun mengajak Sri Sultan melihat rambu yang sudah dilanggar.
Sri Sultan menjawab, “Ndak usah, saya yang salah,kmu benar. Jadi bagaimana?"
Royadin jadi salah tingkah karena dia menilang orang penting. Pertanyaan yang sulit untuk dia jawab. Dalam hati dia berkata, bagaimana bisa menilang seorang raja. Bagaimana bisa menghukum pahlawan Republik. Apalagi saat itu beliau juga petinggi TNI berpangkat Brigjen, Pastinya menjadi dilema tersendiri bagi Royadin.
"Mohon maaf Sinuwun saya tilang." kata Royadin.
Sambil gemetar ia menulis surat tilang dan menyerahkan kepada Sri Sultan.
Sri Sultan pun tersenyum menerima surat tilang dan menyerahkan rebuweesnya kepada Royadin lalu melanjutkan perjalanan. Namun Royadin heran mengapa Sri Sultan tidak memperkenalkan diri sebagai Raja, bahkan bersikeras tetap ditilang dan pelanggaran itu tidak diurus dengan menggunakan kekuasaannya.
Dalam hati Royadin ada penyesalan kenapa dia bisa senekad itu menilang seorang petinggi negara.
Besoknya beritanya sampai kepada komandannya berpangkat Komisaris Polisi, ia terkejut melihat rebuwees Sri Sultan yang ditilang Royadin.
Saat apel pagi, Royadin habis dimaki maki sang komandan.
Royadin! Kamu ini kenapa? Apa kamu nggak bisa berpikir? Siapa yang kamu tilang itu? Siapaa? Ngawur kamu! Kenapa tidak kamu lepaskan saja Sinuwun, kamu ngerti nggak siapa Sinuwun itu? ,teriak komisaris.
Siap pak, Beliau tidak bilang Beliau itu siapa. Beliau mengaku salah,.” jawab Royadin.
Ya tapi kamu mestinya mengerti siapa dia. Kok malah kamu tilang. Ngawur, kamu ngawur. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri Kepolisian Negara (setara kapolri)." kata Komisaris
Royadin diancam akan dimutasi oleh komandannya. Dia hanya bisa pasrah. Komisaris tersebut berusaha mengembalikan rebuwees milik Sri Sultan. Belakangan si Komisaris malah menerima sebuah surat dikirim dari Yogyakarta.
Sultan meminta Brigadir Royadin dipindahkan ke Yogya bersama keluarganya. Sultan terkesan atas tindakan tegas sang Polisi. Sultan juga meminta pangkat Royadin dinaikkan satu tingkat. Sang Komisaris pun menyampaikan permintaan itu kepada Royadin.
Permintaan yang istimewa. Namun Royadin akhirnya memilih berada di Pekalongan.
"Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih. Saya tidak bisa pindah dari Pekalongan, ini tanah kelahiran saya. Sampaikan hormat saya pada Beliau dan sampaikan permintaan maaf pada Beliau atas kelancangan saya." jawab Royadin kepada Komisaris.
Sri Sultan pun menghormati pilihan Royadin. Royadin terus bertugas di Pekalongan. Pangkatnya pun hanya naik beberapa tingkat.
Royadin bertugas sebagai polisi selama 21 tahun 1 bulan. Selain Pekalongan, dia pernah bertugas di Boyolali, Semarang, dan Batang, sebagai Kapolsek Warungasem. Dia pensiun dengan pangkat terakhir Ajun Inspektur Satu (Aiptu). Sang Polisi yang lahir pada 1 Desember 1926 itu wafat di Batang, tanah kelahirannya pada 14 Februari 2007.
Ini adalah kisah seorang Polisi biasa yang berjiwa luar biasa dalam menegakkan disiplin. Juga kisah tentang seorang pembesar yang berjiwa besar mengakui kesalahannya dan tunduk pada hukum yang berlaku. Sesuatu yang saat ini mungkin langka di negeri ini. (*)

