Oleh: Eka Paramita
(Kopri PMII Komisariat IAIN Bone)
Seks adalah karunia yang diberikan Sang Pencipta kepada makhluknya dengan manfaat yang luar biasa. Jika di era saat ini kecanggihan teknologi makin melesat bahkan hampir segala kebutuhan mampu terpenuhi, namun atas Kuasa Sang Maha Kuasa secanggih apapun teknologi perkembangbiakan diciptakan tidak akan dapat mengalahkan proses reproduksi manusia secara alamiah melalui hubungan seks yang normal antara pria dan wanita. Tidak ada hukum dalam sebuah agama yang ada di muka bumi ini menyetujui perlakuan ataupun tindakan yang mengarah kepada penyimpangan terhadap kodrat yang telah ditetapkan padanya.
Dalam kutipannya Anang Harris Himawan, menyebutkan bahwa seluruh agama telah menetapkan ketentuan pernikahan yang sah agar sakralitas hubungan seks terjamin legalitasnya. Bantahan yang begitu banyak dari pelaku tersebut tidak pernah habis, tapi kiranya jika mereka berkedok tak paham agama maka dapat dikatakan itu mustahil. Sebab dalam setiap lingkup masyarakat sudah sejak dahulu paham bahwasanya perilaku menyimpang tersebut dilarang oleh hukum yang ditetapkan negara, terutama larangan keras dari hukum ketetapan yang ada pada agama mereka masing-masing. Negara kita, negara Indonesia merupakan negara yang tidak melegalkan perilaku tersebut untuk besar di kawasannya. Tidak secara terang-terangan dan menjadi pasal yang begitu menaruh aturan atau tindakan tegas bagi perilaku penyimpangan seksual ini hanya tertuang pada Pasal 292 KUHP. Meski demikian dengan perkembangan budaya yang dipengaruhi oleh makin modernnya mode yang ada diseluruh belahan dunia membuat para pelaku semakin antusias dan gencar menyuarakan hak mereka.
Di lain sisi HAM adalah hak bagi seluruh warga negara, para pelaku menuntut hak kebebasan mereka tanpa memikirkan dampak dari perilaku yang gencar mereka jalankan. Sudah ada beberapa negara yang melegalkan perilaku penyimpangan seksual ini, kaum-kaum LGBT memiliki ruang mendapat segala haknya. Bagi beberapa orang mungkin ini bukan masalah yang besar, tapi mari kita kembali menelaah kisah pada zaman Nabi Luth As, azab diturunkan kepada kaumnya yang menjadi penyandang penyimpangan seksual. Kisah tersebut merupakan kisah yang diyakini oleh umat Islam, tapi kisah lainnya terdapat pada Agama Buddha. Seorang pemuka agama Buddha mengatakan bahwa pelaku penyimpangan seksual atau kaum-kaum LGBT ini berkaitan erat dengan paham renkarnasi yang diyakini dalam agama mereka, berkaitan dengan kehidupan mereka di masa lampau dan akan berdampak kembali kepada kehidpan mereka di masa yang akan datang entah akan berupa sebagai manusia kembali dengan menyadang penyakit ataukah menjadi seekor binatang. Dari aspek religius sudah jelas alasan dilarangnya lantaran menyalahi ketetapan sang Maha Pencipta.
Lantas bagaimana dalam pandangan ilmu kesehatan, dijelaskan oleh dr. Dewi Inong bahwasanya berbagai penyakit datang dari hubungan seks yang dilakukan oleh kaum-kaum LGBT lantaran gencar berhubungan seks dengan sesama jenis, menurut penelitian ilmiahterbaru dari MIT di Amerika tahun 2019 menyatakan bahwa tidak ada gen LGBT dengan memeriksa 5.000 ribu orang, ini hanyalah perilaku yang bersumber dari peristiwa-peristiwa yang dilalui si penyandang tersebut. Beliau pernah mengurusi dan merawat para penderita penyakit sejak tahun 1998-2001 yang bahkan hingga kini penyakit tersebut belum ditemukan penawarnya, penyakit itu ialah HIV AIDS dan LSL. Penyandang penyakit tersebut sebelumnya gemar berhubungan dan menjadikan penyimpangan yang dimilikinya sebagai ladang penghasil uang. Dikatakan beliau bahwa pelanggannya mayoritas pria yang sudah berumah tangga, dan pria lajang.
Pertanyaan yang muncul selepas ini ialah mengapa banyak pria normal menggunakan jasa mereka, kembali lagi pada permasalahan ekonomi. Dengan tarif yang ditawarkan lebih murah dibanding para perempuan yang menjadi PSK. Miris kasus seperti ini dilumrahkan dijadikan sebuah kehidupan yang baru dan disepadankan dengan norma-norma yang ada pada diri masyarakat kita. Sikap tegas dari para pemuka agama telah gencar dibawakan dan dijadikan sebuah judul ceramah, lantas bagaimana peran tegas setiap pemerintah daerah. Inilah yang bisa membantu dikikisnya pelaku penyimpangan seksual ini untuk tidak memberinya ruang semakin luas tanpa adanya batasan. Namun kini, sudah marak beredar secara terang-terangan kehadiran mereja tanpa rasa takut dan malu, bahkan yang viar saat ini seorang anak kecil laki-laki tampil dengan pakaian bikini anak perempuan berpose layaknya model perempuan dewasa di tengah-tengah masyarakat dan yang terjadi kelakukannya hanya menuai gelak tawa para penonton padahal seharusnya sejak dini anak didik untuk berjalan di jalan yang benar tidak membenarkan yang pada kenyataannya adalah hal yang salah dan keliru. Melindungi mereka adalah kewajiban sebagai sesama manusia, namun membantu mereka untuk keluar dari lingkaran tersebut adalah tugas seluruh lapisan masyarakat dari pihak pemerintah, aparat daerah, hingga pemuka agama yang ada di lingkungan mereka.
Berbicara perihal pantaskah untuk terbiasa dengan kehadiran mereka itu tidak dibenarkan, tetapi merangkul mereka dan berusaha untuk mengembalikan ke jalan yang lebih baik lagi adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Dari tulisan ini saya sebagai penulis berkesempatan untuk menuangkan keresahan yang mengecamuk dalam diri saya, jika saya ingin menjadi lebih bermanfaat dan berusaha meretas perilaku menyimpang yang telah gencar di era saya ini maka dengan menuangkannnya melalui tulisan tanpa bermaksud untuk melukai hati siapapun itu. Tulisan ini berisi argumen yang benar adanya, dari kisah mengenai agama lain telah saya teliti langsung dengan melakukan wawancara, kemudian dari segi biologis yang telah diteliti tersebut saya tuangan kembali sebab sudah ditayangkan sebelumnya.
Ulasan yang saya tuangkan ini berisi sebuah harapan ke depannya banyak kaula muda yang mampu berperan meretas perilaku tersebut sebab kesuksesan yang akan diraih berada tepat pada generasi muda. Marilah menjadi generasi yang berperan melalui setiap kemampuan yang dimiliki.