Oleh : Camma
Pegiat Budaya
Kabupaten Bone, yang berdiri sejak tahun 1330 dan resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950, hari ini genap berusia 695 tahun. Dalam rentang sejarah yang panjang ini, jejak peradaban dan perjalanan masyarakat Bone banyak terdokumentasi dalam aksara Lontara—tulisan kuno yang menjadi identitas dan warisan intelektual orang Bugis.
Lontara Sake Attoriolong Bone, Lontara Bilang La Patau Matanna Tikka, dan Tolok Rumpana Bone dan lontara lainnya adalah beberapa di antara naskah-naskah penting yang merekam jejak sejarah, silsilah raja, hukum adat, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat Bone di masa lampau. Sayangnya, warisan luhur ini kini menghadapi tantangan besar di era post-pangadereng—suatu masa di mana nilai-nilai adat, norma, dan struktur sosial tradisional mengalami pergeseran akibat arus modernisasi.
Salah satu persoalan yang mencuat adalah semakin berkurangnya kemampuan masyarakat, khususnya generasi muda, dalam membaca dan menulis aksara Lontara. Kondisi ini mengkhawatirkan, mengingat Lontara tidak hanya sekadar tulisan, tetapi merupakan kunci pembuka pemahaman atas sejarah, sastra, dan sistem nilai Bugis.
Permasalahan teknis seperti inkonsistensi dalam penulisan huruf vokal "e" dan "E" pun turut memperparah kondisi ini. Dalam sistem fonetik Lontara Bugis, terdapat lima vokal utama: i, u, E, o, dan e. Perbedaan antara “e” dan “E” membawa makna yang sangat berbeda, sehingga kesalahan penulisan dapat menyebabkan kekeliruan pemahaman bahkan perubahan makna secara keseluruhan. Hal ini menjadi tantangan serius dalam pelestarian bahasa Bugis yang dikenal kaya akan suku kata serupa dengan makna berbeda.
Tidak hanya itu, muncul pula kecenderungan memaksakan penerjemahan istilah dari bahasa Indonesia ke bahasa Bugis tanpa mempertimbangkan konteks linguistik dan kultural. Contoh seperti istilah “kemeteria agama” yang digunakan secara langsung seharusnya dapat diganti dengan ungkapan yang lebih kontekstual seperti “Pangulu Sara”, yang lebih mencerminkan peran keagamaan dalam struktur sosial Bugis. Sementara itu, istilah seperti "perpustakaan" dapat diadaptasi sebagai “Sao Lontara”—rumah bagi kitab dan buku.
Meski begitu, upaya-upaya pelestarian bahasa Bugis dan penggunaan aksara Lontara di ranah publik tetap patut diapresiasi. Di tengah derasnya globalisasi dan pengaruh budaya luar, masih ada kesadaran dari sebagian pihak untuk mempertahankan warisan leluhur ini. Namun demikian, pelestarian tidak bisa berjalan setengah hati. Diperlukan kebijakan nyata dari pemerintah, mulai dari memasukkan kembali pelajaran aksara Lontara sebagai bagian dari kurikulum sekolah, hingga menyediakan ruang-ruang kreatif di media digital bagi generasi muda untuk belajar dan mengekspresikan diri dalam bahasa Bugis.
Momentum Hari Jadi Bone ke-695 ini menjadi saat yang tepat untuk melakukan refleksi sekaligus revitalisasi. Sudah saatnya kita memikirkan inovasi, metode, dan strategi baru agar masyarakat Bone, khususnya generasi muda, tidak melupakan cara membaca tulisan Lontara—sebagai bagian dari jati diri dan kebanggaan akan warisan budaya Bugis.(*)